News

Founder Indotelko Forum: Slot Orbit Bagian dari Kedaulatan di Ruang Angkasa

post-img

Source : gadgetDiva

Gadgetdiva.id — Satelit bukan hanya menjadi tulang punggung dalam sektor telekomunikasi, tetapi juga merupakan simbol kedaulatan di ruang angkasa. Oleh karena itu, potensi bisnis satelit di Indonesia sangat besar, mengingat luasnya wilayah kepulauan yang membutuhkan konektivitas telekomunikasi.

Saat ini, Indonesia telah memiliki satelit Geostationary Orbit (GEO) dan Low Earth Orbit (LEO). Satelit GEO memiliki posisi orbit yang stabil dan kapasitas transponder yang besar, ideal untuk melayani wilayah geografis yang luas di Indonesia. Di sisi lain, satelit LEO menawarkan latensi rendah dan kecepatan tinggi, tetapi memiliki kapasitas transponder terbatas.

Tingkat Penetrasi Pengguna Internet di Indonesia Hampir 80%, Milenial Paling Melek

Satelit LEO menjadi tren yang berkembang dalam 4-5 tahun terakhir, terutama untuk memenuhi kebutuhan broadband yang semakin meningkat. Namun, umur hidup satelit LEO relatif singkat, sekitar 5 tahun, dan memerlukan banyak satelit untuk mencakup banyak lokasi.

Founder IndoTelko Forum, Doni Ismanto, menekankan bahwa kehilangan atau tidak memanfaatkan slot orbit dapat menyebabkan kerugian besar bagi bangsa ini, karena slot orbit merupakan bagian dari kedaulatan di ruang angkasa.

Meskipun bisnis satelit di Indonesia jarang dibahas, perhatian terhadap isu ini penting. Tantangan seperti kekurangan sumber daya manusia ahli di industri satelit dan kurangnya pemanfaatan oleh industri lokal atau startup perlu diatasi.

Menurut Doni, untuk mengatasi tantangan tersebut, perlu dilakukan upaya dalam mengembangkan talenta berkualitas, menangani masalah teknis, dan meningkatkan kolaborasi antar pemain industri. Pemerintah juga diharapkan dapat memberikan dukungan, termasuk insentif seperti dana Universal Service Obligation (USO) dan APBN, untuk mendorong peran swasta dan BUMN dalam menyediakan komunikasi satelit geostasioner.

Dalam menghadapi pertumbuhan bisnis satelit yang tinggi, penting untuk mempertimbangkan aspek regulasi, kemitraan, dan kolaborasi, serta pengembangan talenta dalam negeri dan internasional. Pembentukan satelit nasional, pengendalian terhadap Network Management System (NMS), dan keberadaan gateway dalam yurisdiksi Indonesia juga menjadi langkah kunci untuk menjaga kedaulatan dan keamanan bangsa di ruang angkasa.

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan signifikan dalam bisnis satelit, terutama untuk memenuhi kebutuhan broadband yang semakin meningkat. Namun, perlu diingat bahwa umur satelit LEO relatif pendek, sekitar 5 tahun, dan membutuhkan banyak satelit untuk mencakup berbagai lokasi.

Pentingnya slot orbit karena pertumbuhan jumlah satelit harus memperhitungkan pengelolaan slot orbit. Slot orbit tidak hanya menjadi teknis, tetapi juga simbol kedaulatan negara di luar angkasa.

Dalam menghadapi tantangan bisnis satelit di Indonesia, perlu diperhatikan aspek sumber daya manusia (SDM) yang terbatas, kurangnya perhatian terhadap isu-isu terkait bisnis satelit, dan kebutuhan untuk meningkatkan kolaborasi di antara pelaku industri. Pemerintah juga dapat memainkan peran penting dengan memberikan insentif kepada swasta dan BUMN, membentuk satelit nasional, dan mengatur regulasi yang mendukung perkembangan bisnis satelit di Indonesia.

Satria-2Satelit SATRIA-1

Peluang bisnis satelit

Dosen ITB, Kelompok Keahlian Telekomunikasi M Ridwan Effendy menyoroti bagaimana pentingnya bisnis satelit terutama untuk menjaga kedaulatan bangsa.

“Kalau kita bicara kedaulatan kuncinya ada pada kendali, apakah kita bisa kendalikan bisnis satelit, kendalikan keamanannya, kendalikan dari serangan-serangan yang mengancam dan sebagainya,” kata dia.

Menurut dia, saat ini ada beberapa satelit nasional yang mengorbit, seperti BRIsat yang akan mengorbit hingga 2031, satelit Nusantara Satu hingga 2034, Telkom 3S hingga 2032 dan satelit Merah Putih hingga 2033. Dengan demikian total kapasitas satelit nasional mencapai 8653 MHz dengan kapasitas ekuivalen 17 Gbps.

Selanjutnya, ada HTS Bakti Ka Band di orbit 146 BT yang sudah diluncurkan dan menyusul HTS Telkomsat yang akan menggantikan Orbit 113 yang semula Palapa D Indosat pada 2024.

“Faktanya, kapasitas selalu habis sebelum satelit meluncur, slot itu penuh,” kata Ridwan.

Untuk itu, perlu kerja sama bagaimana membuat satelit asing berguna bagi kedaulatan Indonesia, terutama dengan cara mengendalikan NMS dan Gatewaynya harus di Indonesia, demi keamanan negara.

Menurut Ridwan, untuk mendorong bisnis satelit di RI, pemerintah perlu melakukan beberapa hal.

Misal pertama, dengan memberikan peluang kepada swasta dan BUMN untuk menyediakan komunikasi satelit geostasioner, karena satelit GEO masih dibutuhkan, Pembanguannya bisa dengan isentif berupa dana universal service obligation (USO) dan APBN.

Kemudian, dengan membentuk satelit nasional milik Indonesia dan asing dengan akses ke NMS (monitoring). Selanjutnya, gateway berada dalam yuridiksi Indonesia.

Ini untuk mengantisipasi tingginya satelit LEO yang cakupannya adalah global. “Di sini peran Satelit Bakti bukanlah sebagai kompetitor operator tapi jadi pelengkap,” katanya.

“Hal ini penting untuk memastikan agar Negara memiliki kendali atas infrastruktur siber serta kebijakan internet seperti trust positive yang dijalankan oleh Kominfo dan kebijakan lawful intercept dapat dilaksanakan,” lanjut Ridwan.

Sementara mantan Ketua ASSI Periode 2005-2011 Tonda Priyanto menyebutkan, Indonesia sudah memiliki satelit sejak 1976 yang berguna sebagai penanda kedaulatan bangsa, pemersatu bangsa serta menjamin keamanan bangsa.

Di Asia Pasifik, pertumbuhan bisnis satelit sangat tinggi terutama di India, didorong oleh penggunaan konektivitas global, meningkatnya peluncuram satelit LEO, serta meningkatnya peluncuran satelit internet untuk pertahanan.

“Untuk Indonesia, satelit menjadi bagian “complimentary solutions” jaringan telekomunikasi, jadi GEO dan LEO bisa saling melengkapi sesuai dengan kebutuhannya, ” kata Tonda.

Apalagi, tak semua wilayah bisa terkoneksi dengan jaringan serat optik.

Menurut Tonda, terdapat beberapa aspek agar bisnis satelit di RI bisa sukses. Antara lain, dinamika pasar dan model bisnis satelit, kemitraan dan kolaborasi, aspek regulasi hingga talenta dalam negeri dan internasional.

“Talenta tidak hanya dari sisi teknis tapi juga kepemimpinan atau leadership yang punya visi jangka panjang dan global,” katanya.

Infrastruktur satelit

Dalam diskusi tersebut, Ketua Bidang Infrastruktur Nasional MASTEL Sigit Puspito Wigati Jarot menyoroti soal kebutuhan infrastruktur satelit terutama untuk kebutuhan telekomunikasi.

Menyitir data Bryce Tech, sepanjang 2022 ekonomi angkasa global mencapai 384 miliar dollar AS, yang mana sebanyak 281 miliar dollar AS atau 73 persen merupakan industri satelit.

Sebanyak 281 miliar dollar AS pendapatan industri satelit sepanjang 2022 terbagi atas industri layanan satelit 113 miliar dollar AS, ground equipment 145 miliar dollar AS, manufaktur satelit 15,8 miliar dollar AS, peluncuran 7 miliar dollar AS.

Sepanjang 2022, investasi publik di angkasa, baik untuk kepentingan sipil maupun militer mencapai 99 miliar Euro menurut Euroconsult, yang mana 60 persennya dari Amerika Serikat (AS), disusul Eropa 14 persen, China 11 perseb, Jepang 5 persen, Rusia 3 persen, India 2 persen dan sisa negara lain 5 persen.

“Hingga 2030 diperkirakan akan ada 60.000-100.000 satelit dibandingkan 11.000 peluncuran satelit dalam 60 tahun. Sementara, pertumbuhan sektor angkasa diperkirakan mencapai 11 persen secara tahunan hingga 2030,” ujar Sigit.

Tantangan menjalankan bisnis satelit HTS

Kepala Divisi Infrastruktur Satelit Bakti Kominfo Sri Sanggrama Aradea membeberkan saat ini di Bakti Kominfo, satelit masuk dalam lapis jaringan infrastruktur telekomunikasi nasional.

Indonesia saat ini memiliki satelit multifungsi satria 1 yang merupakan High-Throughput Satellite (HTS) berkapasitas 150 Gbps. Satria 1 diluncurkan pada akhir Juni 2023 dan menggunakan skema KPBU. Sementara commercial operation date-nya pada 2 Januari 2024.

Sementara satelit Satria 2 akan dibangun dalam bentuk twin satellite yakni Satria 2A dan 2B, yang akan memberikan kapasitas 300 Gbps agar layanan internet yang tersedia semakin andal dan cepat.

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menyebutkan, Indonesia memiliki satelit terbanyak di Asia Tenggara dengan 18 satelit hingga Juni 2023. Disusul Singapura 15 satelit.

Sementara regulasi mengenai satelit di Indonesia termaktub dalam UU Telekomunikasi No.36/1999, serta UU No. 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2/2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

Menurut Heru, saat ini Indonesia baru memiliki beberapa satelit operasional untuk melayani kebutuhan telekomunikasi dan penyiaran, sehingga hal ini menjadi tantangan agar perkembangan satelit RI tak kalah dari satelit asing.

Satelit asing digunakan di Indonesia untuk mendukung penyediaan layanan satelit yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh kapasitas satelit nasional.

“Penggunaan Satelit Asing di Indonesia wajib memiliki Hak Labuh Satelit dan wajib memenuhi sejumlah ketentuan tertentu,” katanya. Tentunya ini jadi tantangan dari sisi regulasi agar satelit asing tak memiliki “pangsa pasar” besar pada slot orbit RI.

Heru menyampaikan, teknologi satelit masih dibutuhkan Indonesia untuk mengisi ”sinyal” internet broadband yang tidak terjangkau dan belum terlayani teknologi seluler dan kabel serat optik, serta menjadi backup.

Untuk itu, alokasi slot orbit satelit harus dilakukan secara berhat-hati dan diberikan pada penyelenggara yang memiliki kemampuan finansial cukup dan memaksimalkan penggunaan slot orbit satelit ke depannya.

Tantangan regulasi lain adalab bagaimana menciptakan pasar yang sehat di bisnis satelit. “Bisnis satelit harus dilakukan dalam iklim persaingan usaha yang sehat,” pungkasnya.

Dalam konteks ini, bisnis satelit bukan hanya tentang aspek teknis, tetapi juga melibatkan aspek kepemimpinan yang memiliki visi jangka panjang dan global. Penting untuk memastikan bahwa Indonesia memiliki kendali atas infrastruktur siber dan kebijakan internet terkait, sesuai dengan kebutuhan keamanan negara.

Selain itu, kebutuhan akan infrastruktur satelit untuk telekomunikasi menjadi sorotan, dan pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan dan insentif untuk mendukung pengembangan infrastruktur tersebut.

Dalam hal regulasi, perlu diakui bahwa penggunaan satelit asing di Indonesia harus tunduk pada peraturan yang jelas dan memastikan bahwa satelit asing tidak menguasai secara berlebihan slot orbit di Indonesia. Regulasi yang sehat diperlukan untuk menciptakan lingkungan bisnis satelit yang sehat dan berkelanjutan di Indonesia.


author-img_1

Siti Sarifah Aliah

Reporter

Jurnalis teknologi dan gadget sejak 2005. Mulai dari Majalah Digicom, pernah di Tabloid Ponselku, pendiri techno.okezone.com, 5 tahun di Viva.co.id, 2 tahun di Uzone.id. Pernah bikin majalah digital Klik Magazine, sempat di perusahaan VAS Celltick Technologies. Sekarang jadi founder Gadgetdiva.id, bantuin Indotelko.com dan Gizmologi.id. Supermom dengan 2 orang superkids. update

Artikel Terkait

Kata APJII Soal Rencana Pemerintah Hadirkan Kecepatan Internet Minimal 100Mbps
News

Kata APJII Soal Rencana Pemerintah Hadirkan Kecepatan Internet Minimal 100Mbps

Gadgetdiva.id — Ketua Umum Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) Muhammad Arif ..

Tingkat Penetrasi Pengguna Internet di Indonesia Hampir 80%, Milenial Paling Melek
News

Tingkat Penetrasi Pengguna Internet di Indonesia Hampir 80%, Milenial Paling Melek

Gadgetdiva.id — Riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) mengungkap bahwa penetra..

Perempuan Indonesia Makin Banyak Menggunakan Internet di Tahun 2024
News

Perempuan Indonesia Makin Banyak Menggunakan Internet di Tahun 2024

Gadgetdiva.id — Riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan se..

Indonesia Berpotensi Jadi Sasaran Bisnis Digital
News

Indonesia Berpotensi Jadi Sasaran Bisnis Digital

Gadgetdiva.id — Business Director Indonesia DoubleVerify Muhammad Arif menyatakan bahwa Ind..


;